Kendari, CNN Indonesia —
Dua pekerja bangunan di Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra), La Duma (29) dan La Iwan (29) menjadi korban salah sasaran polisi saat demonstrasi berujung ricuh di sekitar Markas Polda Sultra, Sabtu (26/9) kemarin.
La Iwan mengalami memar di tangan karena hantaman pentungan aparat, sementara La Duma mengalami luka di kepala dan mendapatkan tujuh jahitan.
“Yang paling parah itu bagian tulang ekor ku. Saya kesakitan saat berdiri,” kata La Duma ditemui di rumah kerabatnya, di Kelurahan Kambu, Kecamatan Kambu, Kota Kendari, Minggu (27/9).
La Duma bercerita awal mula kejadian. Ia mengaku diajak iparnya La Iwan untuk membeli ayam potong usai mengecat di tempat kerjanya selepas Salat Magrib.
Saat melintas di Bundaran Gubernur Sultra Anduonohu Kendari, mereka berpapasan dengan polisi yang tengah menyisir mahasiswa yang melakukan aksi.
La Duma mengaku sempat hendak putar balik saat berada di sekitar Bundaran Gubernur Sultra Anduonohu. Namun, mereka berdua diminta berhenti. La Duma langsung turun dari motornya.
Tanpa basa-basi, kata La Duma, beberapa polisi langsung menghujani pukulan hingga membuatnya terjatuh. Darah pun langsung keluar dari kepalanya.
“Saya berteriak, saya bukan mahasiswa, saya pekerja bangunan,” kata La Duma.
La Duma tidak mengingat lagi wajah anggota polisi yang menganiayanya. Ia sudah tidak sadarkan diri setelah darah keluar dari kepalanya. Namun, ia mengingat ada polisi yang menendang bagian pinggulnya.
“Bagian tulang ekor, tidak bisa berdiri. Cuman saya paksa kemarin berdiri,” katanya.
Senada, La Iwan mengatakan puluhan polisi secara tiba-tiba langsung menggebuk mereka tanpa menanyakan lebih dahulu identitas.
“Pokoknya ada yang memukul, ada juga yang menahan,” kata La Iwan.
La Iwan sempat berteriak jika mereka adalah pekerja bangunan. Namun, polisi masih tetap memukulnya tanpa henti.
“Katanya polisi, ‘kenapa kalian lewat di situ?’ (Dijawab) ‘Saya tidak tahu pak, kalau kita tahu, tidak lewat di situ, karena kita ini hanya pekerja bangunan’,” ujarnya.
Setelah itu, dirinya bersama La Duma dibawa ke Polda Sultra bersama 15 massa lainnya yang turut diamankan. Di Polda Sultra, keduanya sempat mendapatkan perawatan medis.
“Saya dijahit di kepala. Satunya empat jahitan, satunya lagi tiga jahitan,” kata La Duma.
“Saya baru rasa tanganku bengkak setelah tiba di rumah,” timpal La Iwan.
Sementara itu, adik La Duma, Wa Tumi mengatakan selama ini kakaknya itu sudah menjadi tulang punggung keluarga. Dengan bekerja serabutan, La Duma berhasil membiayai adiknya untuk kuliah.
“Tapi sekarang tidak bisa lagi bekerja karena sudah susah berdiri. Dia kesakitan,” kata Wa Tumi.
Karena kondisi ekonomi, keluarga tidak memiliki biaya untuk memeriksa kesehatan La Duma. Termasuk mengganti rugi kerusakkan motor keluarga yang mereka pinjam.
Untuk itu, keluarga meminta polisi bertanggung jawab atas penganiayaan La Duma dan La Iwan dan kerusakan motor mereka.
“Motor juga dirusak oleh polisi. Kita tidak bisa perbaiki,” kata Wa Tumi.
La Duma bercerita awal mula kejadian. Ia mengaku diajak iparnya La Iwan untuk membeli ayam potong usai mengecat di tempat kerjanya selepas Salat Magrib.
Saat melintas di Bundaran Gubernur Sultra Anduonohu Kendari, mereka berpapasan dengan polisi yang tengah menyisir mahasiswa yang melakukan aksi.
La Duma mengaku sempat hendak putar balik saat berada di sekitar Bundaran Gubernur Sultra Anduonohu. Namun, mereka berdua diminta berhenti. La Duma langsung turun dari motornya.
Tanpa basa-basi, kata La Duma, beberapa polisi langsung menghujani pukulan hingga membuatnya terjatuh. Darah pun langsung keluar dari kepalanya.
“Saya berteriak, saya bukan mahasiswa, saya pekerja bangunan,” kata La Duma.
La Duma tidak mengingat lagi wajah anggota polisi yang menganiayanya. Ia sudah tidak sadarkan diri setelah darah keluar dari kepalanya. Namun, ia mengingat ada polisi yang menendang bagian pinggulnya.
“Bagian tulang ekor, tidak bisa berdiri. Cuman saya paksa kemarin berdiri,” katanya.
Senada, La Iwan mengatakan puluhan polisi secara tiba-tiba langsung menggebuk mereka tanpa menanyakan lebih dahulu identitas.
“Pokoknya ada yang memukul, ada juga yang menahan,” kata La Iwan.
La Iwan sempat berteriak jika mereka adalah pekerja bangunan. Namun, polisi masih tetap memukulnya tanpa henti.
“Katanya polisi, ‘kenapa kalian lewat di situ?’ (Dijawab) ‘Saya tidak tahu pak, kalau kita tahu, tidak lewat di situ, karena kita ini hanya pekerja bangunan’,” ujarnya.
Setelah itu, dirinya bersama La Duma dibawa ke Polda Sultra bersama 15 massa lainnya yang turut diamankan. Di Polda Sultra, keduanya sempat mendapatkan perawatan medis.
“Saya dijahit di kepala. Satunya empat jahitan, satunya lagi tiga jahitan,” kata La Duma.
“Saya baru rasa tanganku bengkak setelah tiba di rumah,” timpal La Iwan.
Sementara itu, adik La Duma, Wa Tumi mengatakan selama ini kakaknya itu sudah menjadi tulang punggung keluarga. Dengan bekerja serabutan, La Duma berhasil membiayai adiknya untuk kuliah.
“Tapi sekarang tidak bisa lagi bekerja karena sudah susah berdiri. Dia kesakitan,” kata Wa Tumi.
Karena kondisi ekonomi, keluarga tidak memiliki biaya untuk memeriksa kesehatan La Duma. Termasuk mengganti rugi kerusakkan motor keluarga yang mereka pinjam.
Untuk itu, keluarga meminta polisi bertanggung jawab atas penganiayaan La Duma dan La Iwan dan kerusakan motor mereka.
“Motor juga dirusak oleh polisi. Kita tidak bisa perbaiki,” kata Wa Tumi.
dari CNN Indonesia
Fast Response :
WA 0822-1768-0990
Call/SMS : 0822 1768 0990
Email : admin@mipacko.com
Website : www.microfiber.mipacko.com
#JualHandukPonco #JualHandukMuka #JualHandukMandi #jualhandukkarakter #JualHandukPantai #JualHandukBathrobe #JualHandukGolf #JualHandukPromosi #JualHandukTravel #JualHandukSalon #JualHandukPolos #JualHandukKeset #HandukSauna #HandukOutdoor #HandukCake #HandukPrinting #JualHandukMurah #JualHandukBordir #JualHandukGrosir #HandukTerryPalme #mipacko #microfiber #covid19 #staysafe
Tidak ada komentar:
Posting Komentar